Inanguda Pahae

Hari itu adalah hari libur sekolah. Saya dan abang Ben sedang membuat pagar di sebidang tanah berjarak tiga rumah dari rumah kami. Matahari hampir berada di atas ubun-ubun ketika sebuah bis berhenti di depan rumah kami. Seorang ibu dan seorang anak laki-laki turun dari bis tersebut. Beberapa bungkusan dan karung diturunkan juga dari bis tersebut. Seketika itu juga kami menghentikan kegiatan membuat pagar dan menyongsong ibu tersebut. Dia adalah adik ibuku yang kami sebut dengan Inanguda Pahae. Kami menyebut demikian karena inanguda tersebut tinggal di Pahae, yaitu satu daerah di kabupaten Tapanuli Utara.

Dengan terlebih dahulu menyapa, kami membantu mengangkat barang bawaan inanguda tersebut ke rumah kami. Ada durian, ada petai dan beberapa bawaan lainnya yang dibawa inanguda sebagai oleh-oleh. Inilah kali kesekian aku bertemu dengan inanguda Pahae. Saya jarang ketemu dengan inanguda itu karena memang dia jarang datang ke rumah kami dan saya tidak pernah datang ke rumahnya di Pahae. Waktu itu bagiku Pahae adalah sebuah negeri yang sangat jauh dari kampungku.

Sebelumnya saya mengetahui tentang inanguda itu dari cerita orangtua dan kakak-kakakku. Ketika gadis, inanguda itu tinggal di Siantar bersama dengan Oppung (orangtuanya). Di Siantarlah inanguda itu berkenalan dengan seorang laki-laki marga Sinaga yang kemudian menjadi suaminya dengan cara kawin lari atau dalam istilah batak mangalua, karena mempelai laki-laki tidak memiliki cukup biaya untuk mangadati dan juga oppungku tidak menyetujui hubungan mereka.

Setelah menikah mereka masih tinggal di Siantar, karena amanguda itu bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan rokok di Siantar. Namun tidak begitu lama, amaguda itu mulai sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja lagi di perusahaan rokok tempat dia bekerja. Kemudian mereka pulang kampung ke kampung amanguda itu di Pahae. Di Pahae mereka bekerja sebagai petani mengolah tanah warisan dari orangtua amanguda. Selain itu mereka juga bekerja mengumpulkan getah kemenyan yang ada di hutan di daerah itu. Dari getah kemeyan inilah penghasilan terbesar mereka, walaupun jumlahnya hanya cukup buat kebutuhan rumah saja.

Pertama kali saya bertemu dan mengenal inanguda itu, saya heran melihat wajahnya yang keras dan kelihatan lebih tua dari ibu saya. Saya semakin heran melihat rokok yang dihisapnya yaitu rokok yang dilinting sendiri terbuat dari daun tembakau. Mereka menyebutnya dengan timbaho bakkal. Menurut inanguda itu banyak orang dewasa termasuk ibu-ibu di Pahae mengkonsumsi rokok timbaho bakkal itu untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan badan ketika mengumpulkan getah kemenyan di hutan.

Sejak mereka tinggal di Pahae, penyakit yang diderita amanguda itu tidak pernah sembuh. Pernah satu ketika kami mendapat kabar kalau amanguda itu meninggal dan keluarga yang ada di kampung berangkat ke pahae untuk menghadiri acara adat kematian amanguda itu, tetapi ternyata amanguda itu belum meninggal, hanya saja penyakitnya semakin memburuk. Beberapa tahun kemudian amanguda itu meninggal. Dia meninggalkan inanguda, tiga orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Sejak saat itu Inanguda pahae menjadi orang tua tunggal yang mengasuh keempat anaknya.

Kedatangan inanguda kali ini, selain karena rindu dengan kami keluarganya yang ada dikampung, dia juga mau menjual hasil kebunnya yaitu petai. Inanguda itu membawa beberapa karung petai dan dia minta tolong ke ibuku untuk membantu dia menjualnya. Ibuku selalu mengomel setiapkali ada saudara yang datang minta bantuan ke rumah kami, walaupun pada akhirnya dia pasti akan memberikan bantuan semampu keluarga kami. Selain karena ibuku tidak tega, juga karena desakan bapak agar ibu jangan pelit untuk memberikan bantuan terutama kepada saudara dekat.

Begitulah cara inanguda itu untuk menambah penghasilan. Penghasilannya dari mengumpulkan getah kemenyan di hutan ternyata masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka berlima. Kadang aku berpikir kehidupan tidak adil buat inanguda ku ini. Perjuangannya yang begitu keras tergambar jelas pada gurat-gurat wajahnya. Jerih payahnya untuk menyekolahkan anak-anaknya tidak berbuah semanis yang didambakan.

Satu hal yang luar biasa kutemukan pada inangudaku ini, ia mampu menertawakan kesusahan yang dia alami. Ia tidak sungkan-sungkan menceritakan segala penderitaannya dengan cerita lucu yang membuat saya ikut tertawa mendengarnya. Salut buat inanguda, tetap semangat. Saya yakin kebahagiaan akan selalu bersama inanguda.

4 tanggapan untuk “Inanguda Pahae

  1. Imma nanze sinaga Januari 28, 2013 — 11:38 am

    Jadi masihol tu oma, ala persis bohi ni halaki nadua, semoga Tuhan menjaga dan memberi kesehatan dan umur panjang buat inanguda pahae kita ini ito, asa boi hita pajumpang muse.

  2. Sri utami sirait Agustus 20, 2016 — 1:45 pm

    Horas ito…..hubaca tulisan ni itoon masihol au hu namboru na hinan…..ala mirip hian…..

    1. Horas Pariban. Aha kabar…?
      Toho do i, mirip do inanguda i dohot oma.

Tinggalkan komentar

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close